Kamis, 17 Desember 2009

Sang Pemimpi




"...Entahlah, saat melihat film ini saya seperti membayangkan memakan makanan pembuka. Menarik, aromanya enak, menggoda untuk dimakan tapi tidak mengenyangkan. Bahkan ketika film ini selesai, pasti banyak penonton yang bertanya dikepalanya ( loh, udah ), beda sekali dengan closing manis dan tidak terlupakan di film Laskar pelangi..., satu lagi.., saya sebenarnya ragu dengan tokoh Arai dewasa (Ariel peterpan), sebelum menonton film ini saya ragu apakah dia bisa berakting, setelah menonton akhirnya saya benar-benar yakin dia tidak bisa berakting. ."


Oh Sang Pemimpi, Akhirnya saya melihatnya juga,

Sang pemimpi disebut-sebut film paling dinanti desember ini. Akhir-akhir ini memang banyak film yang bertajuk “paling dinanti”, ketika cinta bertasbih yang heboh itu juga berjuluk “paling dinanti”, sayang saya belum pernah menonton KCB ( ini singkatan gaulnya KCB, bagi yang belum tau).

Yang jelas kedua film memiliki persamaan,

Yang pertama , keduanya merupakan versi film dari novel yang sudah laris luar biasa kayak kacang goreng

Eh, karena kacang goreng sudah tidak laku saya ralat

Yang pertama , keduanya merupakan versi film dari novel yang sudah laris luar biasa kayak formulir SNM-PTN

Yang kedua, film-film bertajuk “paling dinanti” itu punya promo yang heboh pula, muncul di billboard-billboard gede-gede di kota-kota besar,dan tiketnya bahkan bisa dipesan hingga empat hari kedepan, bahkan bisa dipesan sebelum hari premiernya.

Dan ketiga, film-film itu dibuat berseri

Saya sendiri sebenarnya tidak alergi dengan film indonesia yang laris. Beberapa film laris ternyata masih mampu membuat saya autis tak bergeming di kursi bioskop menikmati filmnya. Tentu saja bukan film laris semacam “hantu-hantuan” ato film “bukak-bukaan” , menonton film itu dibioskop akan menyebabkan kemaluan ( maaf) , maksudnya maluu, anda akan merasa kotor melihat film hantu-hantuan atau bukak-bukaan, atau kombinasi keduanya (masyallah).kecuali film horor tertentu yang asik, tapi film bukak-bukaan belum ada yang bikin autis, slalu bikin merinding

Kembali ke Sang pemimpi,

Kabarnya film ini sekuel dari film laskar pelangi yang terkenal itu ,tapi seperti yang terdapat pada novelnya, yang diteruskan ceritanya hanya cerita tokoh utama dan keluarganya, sementara karakter lain di cerita pertama memang tidak diteruskan ceritanya, kecuali lintang, sahabat ikal pada laskar pelangi yang namanya sempat disebut di sang pemimpi.

Film “The Dreamer” (bahasa inggrisnya Sang Pemimpi, bener gak sih) , menceritakan tentang Ikal ( Lukman Sardi), Arai ( ) dan Jimbron() yang merupakan sahabat sejak kecil yang punya mimpi dan mereka bertiga berusaha keras meraih mimpi mereka, Ikal bermimpi ke Paris untuk berkuliah disana, Arai yang mengusulkan mimpi ke Paris juga mempunai mimpi lain, yaitu memikat hati pujaan hatinya Zakia Nurmala, sementara Jimbron punya mimpi melihat kuda serta membuat pujaan hatinya, Laksmi tersenyum . Kebanyakan penonton bioskopnya mungkin pembaca novelnya ( seperti saya ) dan mungkin kebanyakan dari mereka juga sudah tau ceritanya ( seperti saya), lalu mungkin mereka menonton filmnya karena penasaran seperti apa dunia novel tersebut di mata sutradaranya Riri Riza ( seperti saya ).

Beberapa mungkin kecewa karena penggambaran film dan jalan ceritanya sedikit berbeda dengan novelnya ( tidak seperti saya ). Film dan novel memang berbeda, novel merupakan imajinasi penulisnya dan setiap pembaca bisa berimajinasi sesuka hati, tetapi film adalah imajinasi sutradara yang digambarkan, jadi penonton hanya melihat imajinasi sutradara yang mungkin, ternyata berbeda dengan bayangan penonton ketika membaca novel.

Saya harus memberi apresiasi karena kualitas sutradaranya memang tidak berubah, dia berhasil membuat film “mahal” ini tervisualisasikan dengan baik dan memang terasa berkelas. Gambar-gambar detil itu berhasil membius dan karakter-karakter melayu lugu khas laskar pelangi berhasil tergambarkan dengan baik lewat akting aktor-aktor yang baru pertama kali main film itu ( kecuali Lukman Sardi, Mathias Mucus,Rieke Diah Pitaloka, dan sisanya saya gak apal). Plot yang dibawakan juga asik, cerita diawali kekecewaan Ikal karena Arai menghilang, lalu flashback ketika mereka masih SMA, selanjutnya cerita mengalir dengan tempo asik menceritakan bagaimana mereka saling bertemu dan berpetualang bersama. Yang jelas saya harus kagum dengan karakter-karakter tokohnya yang kuat itu.

Tapiii,

Ada yang kurang disini,,

Entahlah, saat melihat film ini saya seperti membayangkan memakan makanan pembuka. Menarik, aromanya enak, menggoda untuk dimakan tapi tidak mengenyangkan. Bahkan ketika film ini selesai, pasti banyak penonton yang bertanya dikepalanya ( loh, udah ), beda sekali dengan closing manis dan tidak terlupakan di film Laskar pelangi..., satu lagi.., saya sebenarnya ragu dengan tokoh Arai dewasa (Ariel peterpan), sebelum menonton film ini saya ragu apakah dia bisa berakting, setelah menonton akhirnya saya benar-benar yakin dia tidak bisa berakting. Sumpah, karakter Arai muda jadi sia-sia ketika Arai dewasa diperankan oleh Ariel. Hmm, semoga kualitas aktingnya membaik ketika film ketiga keluar

Saya masih positif thinking,

Waktu melihat The Lord of The Ring juga film keduanya kurang greng, tapi film penutupnya ciamik. Saya harap ini juga berlaku untuk Tetralogi Laskar pelangi.

Empat jempol punya saya, dua jempol tangan dan dua jempol kaki yang saya siapkan untuk film ini berkurang hanya dua jempol saja. Untuk tata artistik yang memang jempolan, dan untuk karakternya yang dikerjakan dengan super serius.

Semoga jempol saya bertambah di film mereka selanjutnya,dinanti...apakah makanan utamanya seenak makanan pembukanya.Yang jelas saya suka salah satu quote nya .


“Yang penting bukan seberapa besar mimpi kamu, tapi seberapa besar kamu untuk mimpi itu”


Produser : Mira Lesmana

Produksi : Miles Film

Durasi : 120 menit

Pemain : Lukman Sardi, Mathias Muchus, Nugie, Landung Simatupang, Rieke Diah Pitaloka, Yayu Unru, Vikri Septiawan, Rendy Ahmad, Azwir Fitrianto, Jay Wijayanto, Nazril I

Sutradara : Riri Riza

Penulis : Salman Alristo, Riri Riza, Mira Lesmana


Rating :



Jumat, 11 Desember 2009

mereka bilang saya monyet



"Beberapa adegan ranjang juga mewarnai film ini. Namun tanpa disangka, sebuah dialog paling bagus menurut saya justru dilakukan saat Ajeng dan Asmoro kekasihnya yang juga penulis berada di atas ranjang dan akan melakukan seusuatu tindakan maksiat ( masyallah )"



Nonton film ini punya efek seperti minum susu sebelum tidur. Pertama kali saya menontonnya, saya hanya bertahan lima menit sebelum akhirnya terlelap. Percobaan kedua berhasil melampaui menit ke sepuluh tapi tetap tertidur sebelum film usai. Nah, pada percobaan ketiga ( setting: pagi-pagi, baru mandi dan sarapan ) akhirnya saya menyelesaikan menonton film ini kemudian meresensinya untuk keperluan insight. Sepertinya sang sutradara yang juga merupakan seorang penulis terkenal (Djenar Mahesa Ayu) masih menggunakan gaya menulisnya untuk membuat film, sehingga menonton filmnya berasa membaca cerpen, banyak metafor dan kiasan sehingga kita dipaksa untuk menyimak baik-baik tiap adegan dan narasi yang dibawakan tokoh utamanya. Akibatnya ya itu tadi, melihat film ini sendirian pada jam tidur ber-efek seperti minum susu sebelum tidur, kita akan cepat sekali terlelap sebelum paham film ini bercerita tentang apa. Hoaah....

Tapi setelah saya menontonnya sampai akhir, film ini sebenarnya punya maksud yang terpuji. Temanya memang klise, namun sangat cocok bagi teman-teman psikologi untuk dikaji. Film ini menceritakan tentang Ajeng, seorang penulis muda yang gaul dan memiliki ketergantungan terhadap rokok dan alkohol, namun di depan ibunya Ajeng adalah seorang anak perempuan yang penurut. Rupanya latar belakang pengasuhannya yang membuat Ajeng jadi seperti itu. Kejadian-kejadian traumatis selama anak-anak serta pengaruh ibunya sebagai objek modeling baginya telah mempengaruhi pribadinya hingga saat dia dewasa dan menuangkan pengalamannya ke dalam sebuah cerpen yang ditulisnya.

Menarik sekali memang, tapi kembali saya sarankan kepada teman-teman untuk tidak menontonnya sendirian, terutama saat jam tidur. Sebenarnya ada satu faktor lagi yang membuat saya akhirnya betah menontonnya sampai akhir. Kostum para pemain cewek hanya berkutat pada tipe pakaian seperti tank top, kemben, sampai kostum tidur cewek yang aduhai, benar-benar memanjakan mata laki-laki ( masyallah ). Beberapa adegan ranjang juga mewarnai film ini. Namun tanpa disangka, sebuah dialog paling bagus menurut saya justru dilakukan saat Ajeng dan Asmoro kekasihnya yang juga penulis berada di atas ranjang dan akan melakukan seusuatu tindakan maksiat ( masyallah ), dialog ini cukup cerdas dan mengena, sebuah kritik tentang kondisi perempuan Indonesia yang lemah dan tanpa perlindungan. Saya akui beberapa dialog dalam film ini memang cukup lugas dan cerdas ( dikatakan tanpa paksaan ).

Pada akhirnya, film ini memang layak tonton, terutama jika dibandingkan film-film yang baru-baru ini yang berjudul masuka masukin aja, tali pocong perjaka, ato pocong vs high heels, film ini jelas lebih berkelas, bermanfaat, serta lebih banyak bagian untuk dikaji secara psikologis. Pendapat saya ini juga didukung prestasi terakhir film ini yang berhasil memperoleh beberapa kategori dalam festifal film bandung beberapa waktu lalu.Apa? Anda tidak percaya semua ulasan ini?ya sudah silakan ke persewaan dan tonton filmnya, lalu anda akan menyadari kebenaran pernyataan saya ( terutama bagian tanktop dan baju tidur seksi ).

Judul : Mereka Bilang Saya Monyet
Produksi : Intimasi Production
Produser : Djenar Mahesa Ayu
Sutradara : Djenar Mahesa Ayu
Penulis : Djenar Mahesa Ayu, Reza herlambang
Pemain : Titi Sjuman, Henidar Amroe, Bucek, Ray Sahetapi,
Rating : saya beri satujempol indah nobo