Jumat, 11 Desember 2009

mereka bilang saya monyet



"Beberapa adegan ranjang juga mewarnai film ini. Namun tanpa disangka, sebuah dialog paling bagus menurut saya justru dilakukan saat Ajeng dan Asmoro kekasihnya yang juga penulis berada di atas ranjang dan akan melakukan seusuatu tindakan maksiat ( masyallah )"



Nonton film ini punya efek seperti minum susu sebelum tidur. Pertama kali saya menontonnya, saya hanya bertahan lima menit sebelum akhirnya terlelap. Percobaan kedua berhasil melampaui menit ke sepuluh tapi tetap tertidur sebelum film usai. Nah, pada percobaan ketiga ( setting: pagi-pagi, baru mandi dan sarapan ) akhirnya saya menyelesaikan menonton film ini kemudian meresensinya untuk keperluan insight. Sepertinya sang sutradara yang juga merupakan seorang penulis terkenal (Djenar Mahesa Ayu) masih menggunakan gaya menulisnya untuk membuat film, sehingga menonton filmnya berasa membaca cerpen, banyak metafor dan kiasan sehingga kita dipaksa untuk menyimak baik-baik tiap adegan dan narasi yang dibawakan tokoh utamanya. Akibatnya ya itu tadi, melihat film ini sendirian pada jam tidur ber-efek seperti minum susu sebelum tidur, kita akan cepat sekali terlelap sebelum paham film ini bercerita tentang apa. Hoaah....

Tapi setelah saya menontonnya sampai akhir, film ini sebenarnya punya maksud yang terpuji. Temanya memang klise, namun sangat cocok bagi teman-teman psikologi untuk dikaji. Film ini menceritakan tentang Ajeng, seorang penulis muda yang gaul dan memiliki ketergantungan terhadap rokok dan alkohol, namun di depan ibunya Ajeng adalah seorang anak perempuan yang penurut. Rupanya latar belakang pengasuhannya yang membuat Ajeng jadi seperti itu. Kejadian-kejadian traumatis selama anak-anak serta pengaruh ibunya sebagai objek modeling baginya telah mempengaruhi pribadinya hingga saat dia dewasa dan menuangkan pengalamannya ke dalam sebuah cerpen yang ditulisnya.

Menarik sekali memang, tapi kembali saya sarankan kepada teman-teman untuk tidak menontonnya sendirian, terutama saat jam tidur. Sebenarnya ada satu faktor lagi yang membuat saya akhirnya betah menontonnya sampai akhir. Kostum para pemain cewek hanya berkutat pada tipe pakaian seperti tank top, kemben, sampai kostum tidur cewek yang aduhai, benar-benar memanjakan mata laki-laki ( masyallah ). Beberapa adegan ranjang juga mewarnai film ini. Namun tanpa disangka, sebuah dialog paling bagus menurut saya justru dilakukan saat Ajeng dan Asmoro kekasihnya yang juga penulis berada di atas ranjang dan akan melakukan seusuatu tindakan maksiat ( masyallah ), dialog ini cukup cerdas dan mengena, sebuah kritik tentang kondisi perempuan Indonesia yang lemah dan tanpa perlindungan. Saya akui beberapa dialog dalam film ini memang cukup lugas dan cerdas ( dikatakan tanpa paksaan ).

Pada akhirnya, film ini memang layak tonton, terutama jika dibandingkan film-film yang baru-baru ini yang berjudul masuka masukin aja, tali pocong perjaka, ato pocong vs high heels, film ini jelas lebih berkelas, bermanfaat, serta lebih banyak bagian untuk dikaji secara psikologis. Pendapat saya ini juga didukung prestasi terakhir film ini yang berhasil memperoleh beberapa kategori dalam festifal film bandung beberapa waktu lalu.Apa? Anda tidak percaya semua ulasan ini?ya sudah silakan ke persewaan dan tonton filmnya, lalu anda akan menyadari kebenaran pernyataan saya ( terutama bagian tanktop dan baju tidur seksi ).

Judul : Mereka Bilang Saya Monyet
Produksi : Intimasi Production
Produser : Djenar Mahesa Ayu
Sutradara : Djenar Mahesa Ayu
Penulis : Djenar Mahesa Ayu, Reza herlambang
Pemain : Titi Sjuman, Henidar Amroe, Bucek, Ray Sahetapi,
Rating : saya beri satujempol indah nobo

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar